Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik
merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya
sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam
menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga
stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan
merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai
dengan tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.
A. Definisi Hukum Pidana
Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi
siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang
disebutkan dalam Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dilarang
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi,
Undang-Undang HAM dan lain sebagainya. Hukum pidana adalah hukum yang
mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan hukuman
bagi yang melanggarnya. Perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana
adalah:
• Pembunuhan
• Pencurian
• Penipuan
• Perampokan
• Penganiayaan
• Pemerkosaan
• Korupsi
Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najar dalam diktat “Pengantar Ilmu
Hukum”-nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai “Kumpulan
kaidah-kaidah Hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan pidana yang
dilarang oleh Undang-Undang, hukuman-hukuman bagi yang melakukannya,
prosedur yang harus dilalui oleh terdakwa dan pengadilannya, serta
hukuman yang ditetapkan atas terdakwa.”
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
• Menetukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
• Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
• Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.
Menurut Sudarto, pengertian Pidana sendiri ialah nestapa yang diberikan
oleh Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan
sebagai nestapa.
B. Tujuan Hukum Pidana
Secara konkrit tujuan hukum pidana itu ada dua, ialah :
• Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik.
• Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik
menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkunganya
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap
gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping pengobatan bagi yang
sudah terlanjur tidak berbuat baik. Jadi Hukum Pidana, ialah
ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia
dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum. Tetapi kalau di dalam
kehidupan ini masih ada manusia yang melakukan perbuatan tidak baik yang
kadang-kadang merusak lingkungan hidup manusia lain, sebenarnya sebagai
akibat dari moralitas individu itu. Dan untuk mengetahui sebab-sebab
timbulnya suatu perbuatan yang tidak baik itu(sebagai pelanggaran
terhadap ketentuan-ketentuan pidana), maka dipelajari oleh
“kriminologi”.
Di dalam kriminologi itulah akan diteliti mengapa sampai seseorang
melakukan suatu tindakan tertentu yang tidak sesuai dengan kebutuhan
hidup sosial. Di samping itu juga ada ilmu lain yang membantu hukum
pidana, yaitu ilmu Psikologi. Jadi, kriminologi sebagai salah satu ilmu
yang membantu hukum pidana bertugas mempelajari sebab-sebab seseorang
melakukan perbuatan pidana, apa motivasinya, bagaimana akibatnya dan
tindakan apa yang dapat dilakukan untuk meniadakan perbuatan itu.
C. Klasifikasi Hukum Pidana
Secara substansial atau Ius Poenalle ini merupakan hukum pidana
Dalam arti obyektif yaitu “sejumlah peraturan yang mengandung
larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya
diancam dengan hukuman”. Hukum Pidana terbagi menjadi dua cabang utama,
yaitu:
• Hukum Materil ialah cabang Hukum Pidana yang menentukan
perbuatan-perbuatan kriminal yang dilarang oleh Undang-Undang, dan
hukuman-hukuman yang ditetapkan bagi yang melakukannya. Cabang yang
merupakan bagian dari Hukum Publik ini mepunyai keterkaitan dengan
cabang Ilmu Hukum Pidana lainnya, seperti Hukum Acara Pidana, Ilmu
Kriminologi dan lain sebagainya.
• Hukum Formil (Hukum Acara Pidana) Untuk tegaknya hukum materiil
diperlukan hukum acara. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur
bagaimana cara agar hukum (materil) itu terwujud atau dapat
diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya. Tanpa
hukum acara maka tidak ada manfaat hukum materiil. Untuk menegakkan
ketentuan hukum pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum
perdata maka ada hukum acara perdata. Hukum acara ini harus dikuasai
para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.
Dr. Mansur Sa’id Isma’il dalam diktat “Hukum Acara Pidana”-nya
memaparkan defenisi Hukum Acara Pidana sebagai ”kumpulan kaidah-kaidah
yang mengatur dakwa pidana—mulai dari prosedur pelaksanaannya sejak
waktu terjadinya pidana sampai penetapan hukum atasnya, hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hukum yang tumbuh dari
prosedur tersebut—baik yang berkaitan dengan dugaan pidana maupun dugaan
perdata yang merupakan dakwa turunan dari dakwa pidana, dan juga
pelaksanaan peradilannnya.”. Dari sini, jelas bahwa substansi Hukum
Acara Pidana meliputi:
• Dakwa Pidana, sejak waktu terjadinya tindak pidana sampai berakhirnya hukum atasnya dengan beragam tingkatannya.
• Dakwa Perdata, yang sering terjadi akibat dari tindak pidana dan yang diangkat sebagai dakwa turunan dari dakwa pidana.
• Pelaksanaan Peradilan, yang meniscayakan campur-tangan pengadilan.
Dan atas dasar ini, Hukum Acara Pidana, sesuai dengan
kepentingan-kepentingan yang merupakan tujuan pelaksanaannya,
dikategorikan sebagai cabang dari Hukum Publik, karena sifat global
sebagian besar dakwa pidana yang diaturnya dan karena terkait dengan
kepentingan Negara dalam menjamin efisiensi Hukum Kriminal. Oleh sebab
itu, Undang-Undang Hukum Acara ditujukan untuk permasalahan-permasalahan
yang relatif rumit dan kompleks, karena harus menjamin keselarasan
antara hak masyarakat dalam menghukum pelaku pidana, dan hak pelaku
pidana tersebut atas jaminan kebebasannya dan nama baiknya, dan jika
memungkinkan juga, berikut pembelaan atasnya. Untuk mewujudkan tujuan
ini, para ahli telah bersepakat bahwa Hukum Acara Pidana harus
benar-benar menjamin kedua belah pihak—pelaku pidana dan korban.
Hukum Pidana dalam arti Dalam arti Subyektif, yang disebut juga “Ius
Puniendi”, yaitu “sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk
menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang”.
D. Ruang Lingkup Hukum Pidana
Hukum Pidana mempunyai ruang lingkup yaitu apa yang disebut dengan
peristiwa pidana atau delik ataupun tindak pidana. Menurut Simons
peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam
pidana dan dilakukan seseorang yang mampu bertanggung jawab. Jadi
unsur-unsur peristiwa pidana, yaitu:.
• Sikap tindak atau perikelakuan manusia
. Melanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran; Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar penghapusan kesalahan.
Sikap tindak yang dapat dihukum/dikenai sanksi adalah
- Perilaku manusia ; Bila seekor singa membunuh seorang anak maka singa tidak dapat dihukum
- Terjadi dalam suatu keadaan, dimana sikap tindak tersebut melanggar hukum,
misalnya anak yang bermain bola menyebabkan pecahnya kaca rumah orang.
- Pelaku harus mengetahui atau sepantasnya mengetahui tindakan tersebut
merupakan pelanggaran hukum; Dengan pecahnya kaca jendela rumah orang
tersebut tentu diketahui oleh yang melakukannya bahwa akan menimbulkan
kerugian orang lain.
- Tidak ada penyimpangan kejiwaan yang mempengaruhi sikap tindak
tersebut.Orang yang memecahkan kaca tersebut adalah orang yang sehat dan
bukan orang yang cacat mental.
Dilihat dari perumusannya, maka peristiwa pidana/delik dapat dibedakan dalam :
• Delik formil, tekanan perumusan delik ini ialah sikap tindak atau perikelakuan yang dilarang tanpa merumuskan akibatnya.
• Delik materiil, tekanan perumusan delik ini adalah akibat dari suatu sikap tindak atau perikelakuan.
Misalnya pasal 359 KUHP :
Dalam Hukum Pidana ada suatu adagium yang berbunyi : “Nullum delictum
nulla poena sine praevia lege poenali”, artinya tidak ada suatu
perbuatan dapat dihukum tanpa ada peraturan yang mengatur perbuatan
tersebut sebelumnya. Ketentuan inilah yang disebut sebagai asas
legalitas .
Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak
pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang hukum
pidana. Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum pidana, ialah
1. Asas Teritorialitas (teritorialitets beginsel)
2. Asas nasionalitas aktif (actief nationaliteitsbeginsel)
3. Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationaliteitsbeginsel)
E. Sistem Hukuman
Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 tentang pidana pokok dan
tambahan, menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang
pelaku tindak pidana terdiri dari :
a. Hukuman Pokok (hoofd straffen ).
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
4. Hukuman denda
b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)
1. Pencabutan beberapa hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar